Minggu, 07 November 2010

Filosofi Pernikahan dari Teman yang Bijak

Usia saya baru menginjak ke 22 tahun. Tapi temen saya yang udah nikah udah lumayan banyak. Saya sebenarnya gak ngerti, apa saya yang kelamaan nikahnya atau malah mereka yang kecepetan. Menurut buku yang pernah saya baca, usia ideal perempuan menikah adalah usia 20 dan pria usia 25 tahun. Jadi, jika dilihat secara kasar dari faktor umur saya sebenarnya telah cukup umur untuk mengadakan sebuah pernikahan.

Namun, pernikahan bukan hanya sekedar faktor usia. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, baik dari segi mental maupun materi. Menggabungkan dua orang dengan latar belakang berbeda dalam satu biduk pernikahan bukanlah perkara mudah. Tidak hanya butuh cinta, tetapi juga komitmen untuk terus berjalan beriringan hingga maut menjemput. Namun, seringkali pernikahan di masa kini hanya berlandaskan rasa yang diagungkan disebut cinta tanpa modal. Padahal untuk membuat perut kenyang, tidak bisa dengan hanya makan cinta.

Hingga saya ingat sebuah pemmbelajran berharga ketika bertandang ke rumah teman lama yang telah menikah lebih dulu saat baru menginjak usianya yang ke 18 tahun. Di rumahnya yang mungil dan belum selesai dibangun, dia tinggal dengan suami dan keluarga mertua. Satu hal yang membuat saya kagum dengan keluarga ini adalah cara pandang suaminya memandang segala hal. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya sangat bijak. Mungkin faktor usia memang memengaruhi cara pikir seseorang untuk menjadi lebih dewasa. Suami temen saya ini memang berusia hampir 30 tahun, jauh di atas kami.

Ketika topik permbicaraan menyinggung masalah pernikahan, dia mengatakan bahwa pernikahannya hanya bermodal keyakinan. Belum ada cinta mengingat mereka baru kenal sebentar kemudian memutuskan untuk melegalkan hubungan ke pernikahan. Dia dan teman saya yakin bahwa inilah saat yang tepat untuk mengakhiri masa lajang. Begitu dasyatkah arti pernikahan sesungguhnya?

Dengan keterbatasan pengetahuan, saya kemudian mengatakan bahwa sebuah lembaga perkawinan, bagaimanapun bentuknya, pasti membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. Sebelum, selama, dan setelah pernikahan dilangsungkan semuanya memerlukan dana agar dapat berjalan lancar. Dengan bijak dia menjawab bahwa pernikahan merupakan sunnah yang tidak memberatkan umat-Nya, malah merupakan pembuka jalan rejeki. Dia mengatakan bahwa sebelum menikah, kerjaanya serabutan da uang hasil keringatnya entah kemana. Setelah menikah, hidupnya menjadi lebih teratur dengan mendapatkan pekerjaan baru. Istrinya yang tidak lain adalah sahabat kecil saya pun mendapatkan pekerjaan baru di sebuah percetakan. Dia bilang ini rejeki yang dijanjikan-Nya kepada hamba yang percaya bahwa pintu rejeki akan semakin terbuka ketika kita menyempurnakan separuh agama dengan menikah.

Dalam hati, saya setuju dengan apa yang diungkapkan oleh suami teman saya. Saya merasa pandangan  saya tentang pernikahan selama ini salah. Pernikahan tidak melulu soal uang, yang terpenting adalah percaya dan ikhlas. Namun, nyatanya pernikahan tidak begitu saja mudah dilakukan. Tetap banyak hal yang harus dipersiapkan sebelumnya dan tentu bukan hanya uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar